Politik, Neotribalisme, dan Etika Solidaritas
REPUBLIK kekerasan. Begitu mungkin sebutan yang cocok bagi republik tercinta ini. Sejarahnya disesaki siklus penundukan, kekerasan, darah, dan korban. Pelbagai peristiwa kekerasan datang silih berganti. Pembantaian kader PKI tahun 1965, peristiwa Tanjung Priok, penyerbuan markas PDI, tragedi Mei 1998, konflik Ambon, peristiwa Semanggi, dan sebagainya. Semuanya berlalu tanpa jejak yang berarti. Tersapu politik yang sudah demikian terstruktural oleh penundukan dan kekerasan. Politik yang berseberangan dengan hidup, kebebasan, dan kebaikan. Sesuatu yang hanya ada satu level di atas tribalisme kuno. Padahal, sejarah sebenarnya mengajarkan bagaimana berpolitik yang santun. Di masa Yunani Kuno, misalnya. Dalam polis (negara-kota) Atena, politik dijalankan tanpa kekerasan. Politik kekerasan dicibir sebagai politik tribal kaum barbar yang mengedepankan otot ketimbang otak. Para politisi Atena bekerja dengan persuasi, bukan koersi. Kerja yang diwadahi sebuah ranah publik. Ranah tempat segala urusan publik dibicarakan secara terbuka, bebas, dan rasional.
POLITIK sebagai proses deliberasi publik sendiri adalah persimpangan dalam sejarah politik. Momen bersejarah saat publik untuk pertama kali dilibatkan dalam proses politik yang rasional dan sehat. Proses ketika kebijakan politik tidak lagi diputuskan secara privat. Bukan seperti keputusan seorang ayah menyekolahkan anaknya di sekolah ternama. Dengan kata lain, politik bukan keputusan sepihak, ia membutuhkan legitimasi publik. Sebuah politik yang santun, meminjam istilah Dr Haryatmoko.
Ujian tengah semester bagi politik yang santun adalah bangkitnya neotribalisme dalam berbagai formatnya. Politik yang kembali menyempit dalam ruang-ruang privat tak berjendela. Keputusan diambil sepihak dengan membeku-matikan keterlibatan publik. Ranah publik diratakan dan prinsip-prinsip, seperti kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas, dicampakkan jauh-jauh dari politik. Ini yang terjadi semasa rezim Orde Baru. Rezim neotribalisme yang bekerja begitu halus membungkam deliberasi publik. Kita masih bisa membaca beberapa semiopolitika neotribalisme Orde Baru. Pertama, politik diatur oleh doktrin tunggal yang mengurusi segalanya mulai dari urusan privat sampai publik. Kedua, akuntabilitas tubuh-tubuh politik menjadi kebal dari skrutinisasi publik. Ketiga, mekanisme penundukan menyebar di semua lini kehidupan: ekonomi, sosial, budaya, dan religi. Ketiganya berakar dari sebuah kebenaran sederhana: absennya deliberasi publik oleh proses penundukan halus yang menyerang kesadaran sosial secara simbolik.
Serangan simbolik paling halus adalah lewat pranata hukum. Serangan ini berpangku pada konsepsi umum positivisme hukum yang meleburkan moral dan hukum. Filsafat yang beranggapan bahwa hukum sendiri adalah sebuah legitimasi moral yang matang. Dengan kata lain, segalanya pasti beres secara moral asal konstitusional. Bertolak dari lapisan kesadaran yang mengental secara sosial ini, pelbagai produk perundang-undangan yang melegitimasi kekerasan dan penundukan dirumuskan. Dari yang paling nyata (UU Antiterorisme) sampai paling halus (UU Sisdiknas). Semuanya adalah kerja diam-diam yang sedikit demi sedikit menggerus hak-hak dasar warga negara.
POLITIK yang santun mensyaratkan seni berpolitik yang santun pula. Sayang, seni berpolitik republik ini berbicara lain. Seni berpolitik saya tipologikan menjadi dua. Pertama, seni berpolitik utilitaris. Seni berpolitik ini memandang segala sesuatu dari kacamata efektivitas. Ia memilah-milah mana isu yang strategis dan mana yang tidak. Apakah satu isu bisa memuluskan jalan ke singgasana kekuasaan atau tidak. Semuanya adalah soal polling, tak lebih! Dan, tampaknya pembelaan korban, rekonsiliasi, dan rehabilitasi hak-hak dasar bukan komoditas yang layak jual di pasar politik. Tak heran mengapa pelbagai rekomendasi humanitarian dari kelompok-kelompok sipil selalu saja mentah di tengah jalan. Kelompok-kelompok politik lebih berfokus pada isu strategis yang kondusif bagi aksentuasi kepentingan masing-masing.
Kedua adalah seni berpolitik futuris. Seni berpolitik yang selalu ingin meratakan masa lalu. Ia berpijak pada janji-janji keesokan: pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, tinggal landas, dan sebagainya. Semuanya berkisar seputar harapan-harapan, bukan kelukaan. Politik futuris selalu mengatakan, "Marilah kita lupakan masa lalu untuk bersama- sama membangun bangsa ini ke depan." Masa lalu adalah sumber konflik yang harus dikubur dalam-dalam. Semuanya cukup diselesaikan lewat kompromi elite. Rekonsiliasi menjadi sekadar seremonial yang kehilangan jejak pada ingatan sosial masyarakat.
Etika politik yang mendasari politik utilitaris dan futuris adalah etika yang berporos pada sektarianisme yang kuat. Etika yang membuat politik menjadi sekadar ajang perjuangan kepentingan kelompok yang menghamba pada instrumentalisasi nalar. Yang ada di pikiran tiap kelompok adalah bagaimana mengamankan kepentingannya sendiri dengan segala cara. Kebaikan dikacaukan dengan kesuksesan. Kekuasaan selalu dilihat sebagai konspirasi untuk menghabisi kelompok dengan kepentingan berbeda
Dua seni berpolitik itu saya tengarai masih bercokol kuat di republik ini. Dunia politik yang masih keruh oleh pertikaian dan perebutan kekuasaan. Dunia yang kehilangan panduan etika sosial yang ketat, kecuali etika utilitaris, di mana tujuan mengamini sarana. Atmosfer politik menjadi keruh oleh kecemasan, kecurigaan, dan kehendak untuk berkuasa. Sungguh sebuah iklim yang amat tidak kondusif bagi tumbuhnya demokrasi yang matang dan sehat. Demokrasi yang beralaskan sebuah etika sosial dan kesantunan politik. Sistem yang benar-benar menjamin lestarinya hak-hak dasar manusia dari terkaman kekuasaan.
Pertanyaan berikut: etika sosial macam apa yang harus dibangun? Milan Kundera, novelis Perancis kelahiran Ceko, mengatakan sesuatu tentang persahabatan. Persahabatan baginya adalah sesuatu yang lebih sublim ketimbang ras, agama, atau ideologi: sebuah relasi yang nonsektarian. Persahabatan adalah sebuah etika yang beralaskan saling pengakuan satu sama lain sebagai subyek moral yang setara. Etika yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip metasektarian, seperti kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.
Bila persahabatan ditarik secara politis, maka hasilnya adalah apa yang disebut Hannah Arendt sebagai etika solidaritas. Sebuah etika yang menjamin bahwa politik tidak sekadar dijadikan sarana perjuangan primordialitas, tetapi penjamin kebaikan untuk semua. Namun, solidaritas di sini harus dibedakan dengan nilai- nilai, seperti kasih, perhatian, simpati, dan sebagainya. Semua itu masih dalam lingkup privat. Dalam lingkup publik, nilai-nilai itu harus mengalami transformasi politik lewat ranah publik.
Cinta dalam ranah privat bisa amat sektarian. Seorang ayah bisa demikian mencintai anaknya hingga melakukan apa pun demi kesuksesan anaknya. Seorang radikalis bisa demikian mengasihi kelompoknya hingga rela mengorbankan nyawanya lewat aksi bom bunuh diri. Etika solidaritas jauh dari kedua contoh itu. Etika solidaritas dalam politik mendorong cinta pada sebuah dimensi baru. Dimensi publik. Mencintai adalah melihat yang lain bukan sebagai musuh atau obyek ideologis, tetapi sebagai subyek politik yang setara. Mencintai juga berarti memberi kesempatan bagi semua perspektif untuk masuk dalam sebuah diskursus publik (ngambang).
ETIKA solidaritas adalah sarana sekaligus hasil sebuah ranah publik yang sehat. Disebut sarana karena melaluinya ranah publik menjadi sungguh-sungguh publik, bukan sekadar ajang perjuangan kepentingan jangka pendek. Dalam hal ini, ranah publik berfungsi mendesektarianisasi nilai-nilai privat. Di lain pihak, ranah publik yang sehat menghasilkan etika solidaritas yang kuat. Saat segala urusan dibicarakan secara terbuka dalam semangat kebersamaan guna menjamin kesetaraan dan kebebasan, lambat laun sebuah bangunan etika sosial yang kokoh akan berdiri.
Persoalannya, bagaimana menstrukturkan etika solidaritas dalam tubuh politik bangsa ini. Tubuh yang diwarisi rezim sebelumnya dalam kondisi memprihatinkan: koyak oleh politik kekerasan dan penundukan. Politik yang acuh terhadap hak-hak dasar manusia. Itu semua membuat perubahan mendasar dalam struktur politik bangsa ini bukan hal sepele. Paling tidak ada dua hal yang menjadi kunci perubahan. Pertama, struktur itu sendiri dan kedua, karakter politisi. Pertama bersifat sosial, sedang kedua individual. Keduanya berbeda, namun saling bertautan.
Menurut Giddens, struktur adalah kebiasaan yang berulang dan membuat pola. Hukum adalah salah satu sarana sekaligus hasil sebuah struktur. Dalam kontens sarana, bila ditengok produk perundang-undangan kita, masih banyak yang belum bisa lepas dari struktur penundukan. Banyak undang- undang yang bisa dijadikan justifikasi untuk perampasan hak- hak dasar manusia. Selain itu, fairness dalam politik masih belum tertampung sempurna dalam undang-undang. Undang- undang masih menjadi obyek sasaran manipulasi ideologis. Dengan kata lain, undang-undang masih dijadikan sarana memantapkan dominasi ideologis satu kelompok atas yang lain. Ini tentu amat tidak kondusif bagi moralitas yang berporos pada solidaritas.
Perubahan menuntut orang berkarakter kuat. Sebuah struktur, sekuat apa pun ia, akan berubah saat banyak orang berani mengambil jarak dari kesadaran dominan. Masalahnya, struktur bisa begitu dominan sehingga orang-orang berkarakter kuat pun bisa larut di dalamnya. Banyak kisah bagaimana cendekiawan yang semula terkenal vokal, kini menjadi the most loyal spokeperson of authority. Padahal, seperti ditegaskan Edward Said, fungsi pokok cendekiawan adalah berbicara kebenaran di hadapan kekuasaan. Ini membuat kita bertanya-tanya seputar maraknya cendekiawan terjun ke politik. Apakah mereka akan membuat perubahan atau lenyap dalam pusaran habitus yang sudah mengendap lama.
Pendidikan menjadi instrumen strategis guna membangun karakter politik nonsektarian. Sayang, ia pun menjadi sasaran strategis kelompok sektarian untuk menancapkan kukunya. Pendidikan yang seharusnya menghasilkan insan yang memiliki daya pertimbangan otonom, menjadi ajang indoktrinasi ideologis yang tertutup bagi nilai-nilai solidaritas. Ini membuat perbincangan mengenai pendidikan kewarganegaraan kembali relevan. Bukan semata-mata pendidikan teknis mengenai tata cara penyelenggaraan negara. Namun, pendidikan yang menanamkan moral politik yang berpijak pada solidaritas, kebebasan, dan keadilan. Pendidikan yang akan menghasilkan insan-insan yang tidak saja melek politik, namun mampu menjalankannya secara etis dan rasional. Kader-kader bangsa yang tahu bagaimana berpolitik secara santun.
REPUBLIK kekerasan. Begitu mungkin sebutan yang cocok bagi republik tercinta ini. Sejarahnya disesaki siklus penundukan, kekerasan, darah, dan korban. Pelbagai peristiwa kekerasan datang silih berganti. Pembantaian kader PKI tahun 1965, peristiwa Tanjung Priok, penyerbuan markas PDI, tragedi Mei 1998, konflik Ambon, peristiwa Semanggi, dan sebagainya. Semuanya berlalu tanpa jejak yang berarti. Tersapu politik yang sudah demikian terstruktural oleh penundukan dan kekerasan. Politik yang berseberangan dengan hidup, kebebasan, dan kebaikan. Sesuatu yang hanya ada satu level di atas tribalisme kuno. Padahal, sejarah sebenarnya mengajarkan bagaimana berpolitik yang santun. Di masa Yunani Kuno, misalnya. Dalam polis (negara-kota) Atena, politik dijalankan tanpa kekerasan. Politik kekerasan dicibir sebagai politik tribal kaum barbar yang mengedepankan otot ketimbang otak. Para politisi Atena bekerja dengan persuasi, bukan koersi. Kerja yang diwadahi sebuah ranah publik. Ranah tempat segala urusan publik dibicarakan secara terbuka, bebas, dan rasional.
POLITIK sebagai proses deliberasi publik sendiri adalah persimpangan dalam sejarah politik. Momen bersejarah saat publik untuk pertama kali dilibatkan dalam proses politik yang rasional dan sehat. Proses ketika kebijakan politik tidak lagi diputuskan secara privat. Bukan seperti keputusan seorang ayah menyekolahkan anaknya di sekolah ternama. Dengan kata lain, politik bukan keputusan sepihak, ia membutuhkan legitimasi publik. Sebuah politik yang santun, meminjam istilah Dr Haryatmoko.
Ujian tengah semester bagi politik yang santun adalah bangkitnya neotribalisme dalam berbagai formatnya. Politik yang kembali menyempit dalam ruang-ruang privat tak berjendela. Keputusan diambil sepihak dengan membeku-matikan keterlibatan publik. Ranah publik diratakan dan prinsip-prinsip, seperti kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas, dicampakkan jauh-jauh dari politik. Ini yang terjadi semasa rezim Orde Baru. Rezim neotribalisme yang bekerja begitu halus membungkam deliberasi publik. Kita masih bisa membaca beberapa semiopolitika neotribalisme Orde Baru. Pertama, politik diatur oleh doktrin tunggal yang mengurusi segalanya mulai dari urusan privat sampai publik. Kedua, akuntabilitas tubuh-tubuh politik menjadi kebal dari skrutinisasi publik. Ketiga, mekanisme penundukan menyebar di semua lini kehidupan: ekonomi, sosial, budaya, dan religi. Ketiganya berakar dari sebuah kebenaran sederhana: absennya deliberasi publik oleh proses penundukan halus yang menyerang kesadaran sosial secara simbolik.
Serangan simbolik paling halus adalah lewat pranata hukum. Serangan ini berpangku pada konsepsi umum positivisme hukum yang meleburkan moral dan hukum. Filsafat yang beranggapan bahwa hukum sendiri adalah sebuah legitimasi moral yang matang. Dengan kata lain, segalanya pasti beres secara moral asal konstitusional. Bertolak dari lapisan kesadaran yang mengental secara sosial ini, pelbagai produk perundang-undangan yang melegitimasi kekerasan dan penundukan dirumuskan. Dari yang paling nyata (UU Antiterorisme) sampai paling halus (UU Sisdiknas). Semuanya adalah kerja diam-diam yang sedikit demi sedikit menggerus hak-hak dasar warga negara.
POLITIK yang santun mensyaratkan seni berpolitik yang santun pula. Sayang, seni berpolitik republik ini berbicara lain. Seni berpolitik saya tipologikan menjadi dua. Pertama, seni berpolitik utilitaris. Seni berpolitik ini memandang segala sesuatu dari kacamata efektivitas. Ia memilah-milah mana isu yang strategis dan mana yang tidak. Apakah satu isu bisa memuluskan jalan ke singgasana kekuasaan atau tidak. Semuanya adalah soal polling, tak lebih! Dan, tampaknya pembelaan korban, rekonsiliasi, dan rehabilitasi hak-hak dasar bukan komoditas yang layak jual di pasar politik. Tak heran mengapa pelbagai rekomendasi humanitarian dari kelompok-kelompok sipil selalu saja mentah di tengah jalan. Kelompok-kelompok politik lebih berfokus pada isu strategis yang kondusif bagi aksentuasi kepentingan masing-masing.
Kedua adalah seni berpolitik futuris. Seni berpolitik yang selalu ingin meratakan masa lalu. Ia berpijak pada janji-janji keesokan: pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, tinggal landas, dan sebagainya. Semuanya berkisar seputar harapan-harapan, bukan kelukaan. Politik futuris selalu mengatakan, "Marilah kita lupakan masa lalu untuk bersama- sama membangun bangsa ini ke depan." Masa lalu adalah sumber konflik yang harus dikubur dalam-dalam. Semuanya cukup diselesaikan lewat kompromi elite. Rekonsiliasi menjadi sekadar seremonial yang kehilangan jejak pada ingatan sosial masyarakat.
Etika politik yang mendasari politik utilitaris dan futuris adalah etika yang berporos pada sektarianisme yang kuat. Etika yang membuat politik menjadi sekadar ajang perjuangan kepentingan kelompok yang menghamba pada instrumentalisasi nalar. Yang ada di pikiran tiap kelompok adalah bagaimana mengamankan kepentingannya sendiri dengan segala cara. Kebaikan dikacaukan dengan kesuksesan. Kekuasaan selalu dilihat sebagai konspirasi untuk menghabisi kelompok dengan kepentingan berbeda
Dua seni berpolitik itu saya tengarai masih bercokol kuat di republik ini. Dunia politik yang masih keruh oleh pertikaian dan perebutan kekuasaan. Dunia yang kehilangan panduan etika sosial yang ketat, kecuali etika utilitaris, di mana tujuan mengamini sarana. Atmosfer politik menjadi keruh oleh kecemasan, kecurigaan, dan kehendak untuk berkuasa. Sungguh sebuah iklim yang amat tidak kondusif bagi tumbuhnya demokrasi yang matang dan sehat. Demokrasi yang beralaskan sebuah etika sosial dan kesantunan politik. Sistem yang benar-benar menjamin lestarinya hak-hak dasar manusia dari terkaman kekuasaan.
Pertanyaan berikut: etika sosial macam apa yang harus dibangun? Milan Kundera, novelis Perancis kelahiran Ceko, mengatakan sesuatu tentang persahabatan. Persahabatan baginya adalah sesuatu yang lebih sublim ketimbang ras, agama, atau ideologi: sebuah relasi yang nonsektarian. Persahabatan adalah sebuah etika yang beralaskan saling pengakuan satu sama lain sebagai subyek moral yang setara. Etika yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip metasektarian, seperti kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.
Bila persahabatan ditarik secara politis, maka hasilnya adalah apa yang disebut Hannah Arendt sebagai etika solidaritas. Sebuah etika yang menjamin bahwa politik tidak sekadar dijadikan sarana perjuangan primordialitas, tetapi penjamin kebaikan untuk semua. Namun, solidaritas di sini harus dibedakan dengan nilai- nilai, seperti kasih, perhatian, simpati, dan sebagainya. Semua itu masih dalam lingkup privat. Dalam lingkup publik, nilai-nilai itu harus mengalami transformasi politik lewat ranah publik.
Cinta dalam ranah privat bisa amat sektarian. Seorang ayah bisa demikian mencintai anaknya hingga melakukan apa pun demi kesuksesan anaknya. Seorang radikalis bisa demikian mengasihi kelompoknya hingga rela mengorbankan nyawanya lewat aksi bom bunuh diri. Etika solidaritas jauh dari kedua contoh itu. Etika solidaritas dalam politik mendorong cinta pada sebuah dimensi baru. Dimensi publik. Mencintai adalah melihat yang lain bukan sebagai musuh atau obyek ideologis, tetapi sebagai subyek politik yang setara. Mencintai juga berarti memberi kesempatan bagi semua perspektif untuk masuk dalam sebuah diskursus publik (ngambang).
ETIKA solidaritas adalah sarana sekaligus hasil sebuah ranah publik yang sehat. Disebut sarana karena melaluinya ranah publik menjadi sungguh-sungguh publik, bukan sekadar ajang perjuangan kepentingan jangka pendek. Dalam hal ini, ranah publik berfungsi mendesektarianisasi nilai-nilai privat. Di lain pihak, ranah publik yang sehat menghasilkan etika solidaritas yang kuat. Saat segala urusan dibicarakan secara terbuka dalam semangat kebersamaan guna menjamin kesetaraan dan kebebasan, lambat laun sebuah bangunan etika sosial yang kokoh akan berdiri.
Persoalannya, bagaimana menstrukturkan etika solidaritas dalam tubuh politik bangsa ini. Tubuh yang diwarisi rezim sebelumnya dalam kondisi memprihatinkan: koyak oleh politik kekerasan dan penundukan. Politik yang acuh terhadap hak-hak dasar manusia. Itu semua membuat perubahan mendasar dalam struktur politik bangsa ini bukan hal sepele. Paling tidak ada dua hal yang menjadi kunci perubahan. Pertama, struktur itu sendiri dan kedua, karakter politisi. Pertama bersifat sosial, sedang kedua individual. Keduanya berbeda, namun saling bertautan.
Menurut Giddens, struktur adalah kebiasaan yang berulang dan membuat pola. Hukum adalah salah satu sarana sekaligus hasil sebuah struktur. Dalam kontens sarana, bila ditengok produk perundang-undangan kita, masih banyak yang belum bisa lepas dari struktur penundukan. Banyak undang- undang yang bisa dijadikan justifikasi untuk perampasan hak- hak dasar manusia. Selain itu, fairness dalam politik masih belum tertampung sempurna dalam undang-undang. Undang- undang masih menjadi obyek sasaran manipulasi ideologis. Dengan kata lain, undang-undang masih dijadikan sarana memantapkan dominasi ideologis satu kelompok atas yang lain. Ini tentu amat tidak kondusif bagi moralitas yang berporos pada solidaritas.
Perubahan menuntut orang berkarakter kuat. Sebuah struktur, sekuat apa pun ia, akan berubah saat banyak orang berani mengambil jarak dari kesadaran dominan. Masalahnya, struktur bisa begitu dominan sehingga orang-orang berkarakter kuat pun bisa larut di dalamnya. Banyak kisah bagaimana cendekiawan yang semula terkenal vokal, kini menjadi the most loyal spokeperson of authority. Padahal, seperti ditegaskan Edward Said, fungsi pokok cendekiawan adalah berbicara kebenaran di hadapan kekuasaan. Ini membuat kita bertanya-tanya seputar maraknya cendekiawan terjun ke politik. Apakah mereka akan membuat perubahan atau lenyap dalam pusaran habitus yang sudah mengendap lama.
Pendidikan menjadi instrumen strategis guna membangun karakter politik nonsektarian. Sayang, ia pun menjadi sasaran strategis kelompok sektarian untuk menancapkan kukunya. Pendidikan yang seharusnya menghasilkan insan yang memiliki daya pertimbangan otonom, menjadi ajang indoktrinasi ideologis yang tertutup bagi nilai-nilai solidaritas. Ini membuat perbincangan mengenai pendidikan kewarganegaraan kembali relevan. Bukan semata-mata pendidikan teknis mengenai tata cara penyelenggaraan negara. Namun, pendidikan yang menanamkan moral politik yang berpijak pada solidaritas, kebebasan, dan keadilan. Pendidikan yang akan menghasilkan insan-insan yang tidak saja melek politik, namun mampu menjalankannya secara etis dan rasional. Kader-kader bangsa yang tahu bagaimana berpolitik secara santun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan anda berkomentar, tapi yang sopan dan sifatnya membangun yaa...??